Keteladanan Nabi Ibrahim
'AlaihisSalam
Dalam lintasan sejarah kenabian, nama Nabi Ibrahim Alaihissalam , merupakan
nama yang sudah tidak asing lagi bagi umat Islam. Selain dikenal sebagai salah
seorang rasul ulul azmi (yang memiliki keteguhan), beliau juga sering
disebut sebagai Khalilullah (kekasih Allah), dan Abul Anbiya'
(bapaknya para nabi). Tulisan singkat ini memberikan sedikit gambaran tentang
perilaku kehidupan beliau untuk kemudian nantinya bisa kita teladani. Namun
karena terbatas, kami sampaikan pokok-pokoknya saja.
1.
Kritis terhadap lingkungan
Nabi Ibrahim Alaihissalam di lahirkan diling-kungan
penyembah berhala, termasuk bapaknya sendiri, Azar, namun ternyata lingkungan
tidak memberi pengaruh terhadap dirinya. Hal ini dikarenakan sikap kritis yang
beliau miliki. Suatu ketika beliau bertanya kepada bapaknya tentang penyembahan
berhala ini. Sebagaimana dalam firman Allah:
"Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim ber-kata kepada bapaknya Aazar:
"Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah. Sesungguhnya
aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata". (Al-An'am: 74)
Demikianlah kesesatan tetaplah beliau katakan sebagai kesesatan meskipun
itu dihadapan ayahnya sendiri, sehingga dalam riwayat lain beliau akhirnya
diusir oleh sang ayah. Sikap Nabi Ibrahim tidaklah berhenti disini, namun
dilanjutkan dengan mencari siapakah sesembahan (Ilah) yang sebenarnya. Tatakla
ia melihat bintang ia katakan "Inilah Tuhanku," namun ketika bintang
itu tenggelam ia berkata: "Saya tidak suka yang tenggelam", demikian
juga ketika melihat bulan dan matahari sama seperti itu. Akhirnya karena merasa
bahwa benda-benda di alam ini tak ada yang pantas untuk disembah maka ia
berkata, sebagaimana dalam firman Allah, yang artinya: "Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan."
Kisah ini membuktikan bahwa hanya dengan mengikuti akal sehat dan hati
nurani saja (fitrah) ternyata beliau mampu menjadi muslim yang muwahid (lurus
tauhidnya) meski lingkungan yang ada tidak mendukung. Dan ini menunjukan bahwa
fitrah manusia pada dasarnya adalah bertauhid.
Lalu bagaimana dengan kita umat Islam sekarang ini, bukankah selain memiliki
akal dan hati nurani kita juga mempunyai pembimbing berupa Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Masihkah kita akan menutupi kemusyrikan , kebid'ahan dan
kemungkaran-kemungkaran yang kita lakukan dengan alasan lingkungan? atau sudah
tradisi?
2.
Cerdas, diplomatis dan pemberani
Hal ini dibuktikan ketika beliau berhadapan dengan penguasa musyrik saat
itu yang bernama Namrudz, raja Babilonia. Firman Allah, artinya: "Apakah
kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah)
karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika
Ibrahim mengatakan: "Rabbku ialah yang menghidupkan dan mematikan".
Orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim
berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka
terbitkanlah dia dari barat," lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
(Al-Baqarah: 258)
Dalam tafsir di sebutkan bahwa yang di maksud orang yang diberi kekuasaan
adalah Namrudz, kemudian arti ucapannya: "Saya dapat menghidupkan dan
mematikan" ialah membiarkan hidup seseorang dan membunuh yang lainya.
Sadar menghadapi orang yang punya kekuasaan yang bisa bertindak apa saja
semaunya maka Nabi Ibrahim lalu menyampaikan hujjah yang sekiranya membuatnya
diam, yakni disuruh ia menerbitkan matahari dari barat, jika memang bisa dan
punya kekuasaan.
Kecerdasan Nabi Ibrahim juga tertuang dalam kisah lainya yakni tatkala ia
menghancurkan berhala-berhala para musyrikin ia sisakan satu berhala yang
terbesar. Hal ini tentunya bukan dengan tanpa tujuan. Ketika dalam persidangan
iapun ditanya tentang siapa yang menghancurkan berhala-berhala itu. Nabi
Ibrahim menjawab: "Tanyakan saja kepada berhala yang paling besar yang
belum rusak! Sebenarnya jika para musyrikin itu mau menggunakan otaknya mereka
sudah tahu dengan maksud perkataan Nabi Ibrahim tersebut. Namun karena
kebodohan mereka merekapun balik mengumpat: "Bagaimana kami bertanya
kepadanya, bukankah dia itu hanyalah patung benda mati? Maka dijawab lagi oleh
Nabi Ibrahim dengan yang lebih tegas: "Jika sudah tahu itu benda mati
mengapa kalian sembah?"
Inilah bukti kecerdasan dan kehebatan beliau dalam berdiplomasi. Memang
banyak orang cerdas pemikirannya, namun jika sudah berhadapan dengan penguasa,
maka terkadang tidak begitu terlihat kehebatannya bahkan justru yang dilakukan
adalah minta petunjuk.
3. Memiliki ketaatan luar biasa
Sengaja disini kami tulis dengan luar biasa karena memang
tidak dimiliki dan tidak bisa dimiliki oleh manusia-manusia biasa seperti kita.
Mari kita renungkan arti firman Allah berikut ini yang mengisah-kan tentang
perintah penyembelihan Nabi Isma'il:
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelih-mu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar". (Ash-Shaffat: 102)
Perintah menyembelih anak bukan-lah perintah sembarangan, namun demikian
Nabi Ibrahim tetap saja mengerjakannya, walaupun akhirnya diganti oleh Allah
dengan seekor domba. Jika bukan karena ketaatan yang luar biasa maka tentu Nabi
Ibrahim tak sanggup untuk mengerjakannya, demikian pula dengan Nabi Isma'il
yang akan disembelih, beliau pun persis seperti ayahnya, pasrah (Islam)
terha-dap apa yang diwahyukan Allah.
Dimuka telah kami sampaikan bahwa beliau adalah seorang yang kritis, cerdas
dan diplomatis serta pemberani. Namun itu semua sama sekali tidak berlaku di
hadapan Allah. Mestinya dengan sikap kritis dan kecerdasannya ia bisa menolak
perintah itu dengan mengatakan bahwa perintah itu tidak masuk akal dan diluar
kebiasaan atau kemampuan. Jika tidak, sebagai seorang yang diplomatis ia bisa
menyampikan alasan-alasan tertentu untuk berkelit dari printah itu atau minimal
minta diganti perintah lain yang lebih ringan, bukankah ia seorang nabi yang
jika meminta sesuatu pasti dikabulkan? Akan tetapi kaum muslimin, beliau
bukanlah tipe manusia seperti kita yang ketaatanya hanya setebal kulit ari, dan
sangat mudah terhampas oleh tiupan badai. Jika bukan karena rahmat Allah kita
tak punya kekuatan apa-apa untuk mempertahankannya. Rupanya yang ada dalam diri
Nabi Ibrahim ketika berhadapan dengan perintah Allah adalah Sami'na wa
atha'na ya dan ya. Tak pernah ada kata 'tidak', 'nanti saja' atau 'perlu
analisa dulu', dengan tujuan supaya bebas darinya. Demikianlah ciri-ciri muslim
dan mukmin sejati.
Hal ini sesuai dengan firman Alllah:
"Dan
tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al-Ahzab: 36)
Memang begitulah idealnya seorang di sebut sebagai
mukmin. Jika Al Qur'an atau Sunnah mengatakan salah dan haram maka seperti itu
pula yang ia katakan. Jika memerintahkan sesuatu maka itulah yang ia kerjakan
dan jika melarang sesuatu pantangan jangankan dia mengerjakan, mendekati saja
tidak akan mau.
Sungguh Allah Maha Tahu bahwa seorang hamba tak akan
sanggup untuk menyembelih anaknya dan seandainya pun yang diperintahkan Allah
hanya ini saja dan tidak ada perintah-perintah lain maka tetap saja dan kita
tak akan mampu melakukannya. Dan tiadalah suatu larangan Allah kecuali di situ
terdapat sesuatu yang merugikan dan membawa petaka, oleh karenanya wajib untuk
di jauhi.
Dan masih banyak sebenarnya teladan yang bisa diambil
dari sirah Nabi Ibrahim ini. Namun karena keterbatasan tempat maka tidak bisa
untuk disampaikan semuanya, diantaranya yang terpenting adalah ketegasan beliau
terhadap kemusyrikan dan kekafiran. Seperti yang tersebut dalam Al-Qur'an Surat
Az-Zurkhruf 26-27.
4.
Pelajaran yang bisa diambil
A. Seseorang tidak
boleh melakukan kesyirikan/ kebid'ahan hanya dengan alasan lingkungan, karena
telah ada Al Qur'an dan As Sunnah sebagai petunjuk.
B. Seseorang da'i
dituntut memiliki sifat yang cerdas, kritis, peka terhadap lingkungan, bisa
bertukar pendapat dengan baik dan pemberani.
C. Kecerdasan dan intelektualitas bukan
penghalang bagi seseorang untuk berlaku taat kepada Allah. Bahkan akal harus
tunduk terhadap wahyu.Hikmah dari perintah penyembelihan nabi Ismail adalah
disyariatkanya ibadah kurban.
D. Tegas terhadap kemusyrikan dan kekafiran
adalah sikap yang harus dimiliki setiap muslim.
Oleh karenanya wahai kaum muslimin, akankah lingkungan
terus menerus kita kambinghitamkan untuk mempertahankan sebuah kesalahan atau
tradisi yang menyimpang, ataukah dengan kecerdasan dan intelektual yang kita
miliki kita akan mencoba membelokkan makna ayat-ayat Allah atau menafsiri
semaunya dan dikatakan sudah tidak relevan lagi. Ingat! Nabi Ibrahim adalah
orang yang sangat cerdas , namun ia berubah menjadi orang yang sangat bodoh
(karena taat) ketika berhadapan dengan wahyu, sehingga ketika disuruh
menyembelih putranya ia pun bersedia melakukannya tanpa banyak berpikir
panjang.
Dimanakah muslim yang berjiwa seperti nabi Ibrahim ini?
memang kita tak akan bisa seperti beliau namun setidaknya kita harus berusaha
menjadi muslim yang taat dan tidak banyak membantah walau belum mampu untuk
melakukannya. Wallahu A'lam bishawab.
vvv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar